Intensitas interaksi di media sosial dan perbandingan dan ekspektasi yang tidak realistis

Di sebuah kamar yang dipenuhi semburat cahaya matahari sore, aku menatap refleksiku di layar ponsel yang sedikit redup. Melalui kaca virtual yang kusebut media sosial, aku menjadi Alice yang terjebak di Wonderland—dunia di mana segalanya tampak cerah, tanpa cela, dan penuh keajaiban. Seiring dengan runtutan cerita di linimasa yang tak pernah berhenti, aku terhanyut dalam interaksi yang menjanjikan kedekatan, namun justru seringkali menyisakan jarak dan tekanan.

Aku adalah generasi Z, pewaris dunia yang terkoneksi dalam jejak digital yang tak terhapus. Menginjak usia remaja, aku sudah tenggelam dalam gempita siber yang memungkinkan setiap orang, termasuk aku, untuk berbagi kisah, prestasi, dan segala aspek kehidupan yang tampak sempurna. Dan tanpa sadar, tekanan pun berkecambah.

Hari ini, aku melihat Seseorang mengunggah foto dengan trofi kompetisi debat. Di sana, dia tersenyum lebar, dikelilingi oleh audiens yang mengagumi. Sementara itu, Seseorang lainnya memperlihatkan karya seni yang telah viral, seribu ‘like’ mengalir bak air terjun, membanjiri notifikasi dengan pujian dan decak kagum. Dalam sekejap, sosok-sosok itu menjadi standar yang tak tercapai; mereka bagai bintang yang bersinar terang, sementara aku? Hanya debu kosmik yang mencoba mereguk cahaya.

Setiap jempol yang menggeser ke atas adalah lembaran baru, menampilkan narasi idilis yang seringkali lebih fiktif daripada nyata. Pesta, perjalanan, pujian—semua dikemas dalam kerangka sempurna dari filter dan angle. Dan di sanalah letak ironinya, semakin aku menggali, semakin dalam pula aku tertimbun dalam ekspektasi yang kuciptakan untuk diri sendiri.

Berinteraksi di media sosial bukan hanya soal mendapatkan informasi atau memperbarui status; ini soal mengukir identitas dalam dunia maya, di mana setiap ‘like’ dan komentar menjadi pengesahan eksistensi. Kecemasan FOMO (Fear of Missing Out) mendesakku untuk selalu terhubung, takut jika aku terlewatkan oleh waktu yang selalu bergerak lebih cepat dari perasaanku.

Tapi Wonderland ini juga tidak adil. Ia memberi ilusi tak berbatas, di mana sukses bercerita dengan detail yang tak tahan banting ketika disandingkan dengan realita. Aku mulai sadar, bahwa tekanan yang kurasakan adalah buah dari perbandingan konstan; perbandingan dengan yang lain, dan yang lebih menghancurkan, adalah dengan versi diri ideal yang tak pernah bisa kucapai. Aku tersudut oleh bayanganku sendiri.

Hari demi hari, aku belajar—pelan tapi pasti—untuk mengambil napas dalam-dalam, mengingat kembali bahwa media sosial adalah panggung sandiwara yang tak selalu mencerminkan kehidupan nyata. Aku mulai mengurangi waktu yang kuhabiskan untuk menatap layar, memberi ruang bagi diri untuk merenungi, dan menemukan nilai yang sesungguhnya; nilai yang tidak terukur dari jumlah ‘like’ dan komentar.

Kini, aku menekankan pada pentingnya keseimbangan, mengisi waktu luang dengan hobi atau aktivitas yang membangun kesejahteraan mental. Membaca, menulis, kadang melukis—menciptakan dunia sendiri yang tidak bergantung pada validasi semu dari dunia luar. Aku menyadari bahwa setiap cerita yang kubangun di kehidupan nyata, seharusnya menjadi prisma yang lebih meyakinkan daripada pantulan-pantulan kosong di dinding-dinding media sosial.

Tekanan media sosial mungkin takkan pernah sirna sepenuhnya, namun belajar untuk tidak terperangkap di dalamnya adalah langkahku mengambil kembali kendali atas kisah hidupku. Kusimpan ponselku, dan kubuka jendela kamar—biar Wonderland itu tetap di sana, sementara aku melangkah keluar, menghela udara segar, bersiap melukis cakrawala dengan warna-warni kenyataan.

Tinggalkan komentar