Dendam Purnama: Balada Hantu Gadis Penenun Hayati

Di balik keteduhan malam Purnama, keheningan kampung Kliwon itu memberi ruang bagi bisikan cerita lama yang terjaga. Aku masih ingat malam itu, langkah ku terasa berat mendekati rumah tua dipinggiran sawah, dimana kisah ini bermula. Kisah gadis penenun, kisah dendam yang tak pernah pudar.

Siapa sangka bahwa tangan-tangan yang biasa mencipta kain tenun indah kini merentang ke angkasa, menjerat takdirku. Nama lengkap gadis itu terkubur di hati warga desa sebagai Hayati, si penenun ulung. Secuil kisah yang kuabaikan, sebelum purnama yang mengubah segalanya.

Hayati, begitu desa memanggilnya, bergelut dengan tenunannya dari pagi hingga petang. Seulas senyum selalu menghiasi wajah tirusnya setiap kali desa merayakan keahlian jemari emasnya. Namun, tiada yang menyangka bahwa senyum itu lama-lama meredup, tenggelam dalam iri dan cemburu yang merajalela dibalik setiap simpul benang.

Aku, sebagai pemilik toko kain terbesar di desa, mengenalnya lebih dari sekedar pelanggan tetap. Pintaku untuk tenun eksklusif sering membuatnya terbebas dari kelaparan. Tak ku sangka, pemberianku itu pelan-pelan menjelma menjadi pisau yang menorehkan luka. Ini cerita tentang jalinan takdir dan dentuman sesal.

Suatu hari, terjadi sesuatu yang menggegerkan. Tiap helai tenun yang terlahir dari tangan Hayati mulai dibanjiri desas-desus. Katanya, siapa yang memakainya akan terkena sial. Aku terguncang, bisnis terancam, tapi lebih dari itu adalah pengkhianatan. Hayati menyalahkan ku atas semua fitnah yang menerpanya, lewat mata yang memerah dan suara yang menggetar, seperti benang tenun yang rapuh.

Belum lagi kutemukan solusi, suatu malam tepat saat purnama, tragedi mengetuk pintu. Rumah tua tempat Hayati merajut masa depannya terbakar, membara menggumpal menjadi asap hitam pekat. Si penenun muda itu, pelukis mimpi melalui setiap gerakan alurnya, tak pernah ditemukan lagi. Hanya sisa-sisa tenunannya yang menjadi abu. Desa berbisik, legenda baru telah lahir.

Aku merasakan mata desa yang menusuk, pertanyaan yang tak terucap tapi menggantung di antara kita. Ada yang bilang ini ulahku. Tekanan bisnis, desas-desus, namun yang paling menghantui adalah suara Hayati yang sering terdengar merintih di antara angin malam.

Purnama datang dan pergi, tapi dendamnya seperti tak pernah mengalami senja. Di malam-malam berikutnya, aku merasakan kehadirannya. Rintihan tenun di kegelapan, keluh anak macan yang hilang induknya. Aku tahu, Hayati takkan pernah tenang. Terkadang, aku masih merasakan sentuhan lembut pada gulungan tenun di tokoku, tapi sejuknya menggigilkan tulang.

Aku meninggalkan desa itu, tapi cerita Hayati seperti bayang yang tak pernah pudar. Sosok penenun muda itu merebak dalam tiap garis purnama, dalam setiap bisikan angin, berdendang dalam balada sunyi. Gadis penenun itu belum selesai dengan tenggat waktu dunianya, dan aku… Aku selalu menanti penebusan yang tak pernah tiba.

Tinggalkan komentar