Cermin Antik Penghuni Malam

Ketukanku di jendela malam itu mungkin panggilan bagi yang tak terlihat. Aku, Rendra, seorang pengagum barang antik, tak pernah menyangka jika keindahan cermin antik yang kubeli di lelangan desa terpencil itu, memiliki rahasia menyeramkan.

Cermin itu berdiri megah di sudut ruang tamuku, bingkainya yang ukirannya menakjubkan dan terbuat dari kayu jati tua seolah membawa pesan dari masa lampau. Sesuatu tentang cermin itu membuatku tak bisa memalingkan pandang, layaknya mata yang terus menatap balik.

Malam-malamku tak lagi sama sejak cermin itu bernaung di rumahku. Suasana yang semula hangat perlahan berubah; hembusan angin dingin menyeruak tanpa jendela atau pintu yang terbuka, bisikan-bisikan sumbang mengisi telingaku, dan yang paling mengkhawatirkanku—pantulan di cermin yang bukan milikku.

Suatu malam, ketika bulan bersembunyi di balik awan tebal, kejadian yang tak terlupa itu terjadi. Kuhampiri cermin untuk menatap sebuah pantulan yang selalu kurindukan—ibuku, yang telah tiada. Namun, yang kutemui bukanlah belaian kasihnya, melainkan sepasang mata yang membara menatapku dari kedalaman cermin, yang bukan milik manusia.

Kulangkahkan kaki mundur dan nafasku tercekat. Bayangan di cermin itu bergerak mandiri, melampaui hukum fisika yang kukenal. Ia menirukan gerak gerikku dengan terbalik, memutar-mutar kepalanya dengan cara yang mengerikan dan tak mungkin dilakukan oleh manusia. Suara tawanya mengejek, bergema menyayat diam.

Dari pantulan itu, sosok pucat muncul, tepian wajahnya tak sempurna, berkeping-keping, seakan-akan ditoreh oleh cakar halus. Makhluk itu berkata padaku dengan suara serak, bahwa dia adalah penghuni asli cermin, penjaga antara dua dunia, yang terjebak oleh mantra jadul yang disematkan oleh pembuatnya.

Sosok itu menuntut, agar aku menjadi jembatannya menuju kebebasan. Kebebasannya, yang berarti penjara bagiku. Aku enggan dan berusaha menghindar, tetapi ketahuilah? Setiap malam, bayangan itu semakin mendekati kenyataan, mencoba menarikku ke dalam dunia cermin, ke dalam kegelapan tanpa akhir.

Cermin antik itu kini terbungkus kain hitam, sebuah percobaan naif untuk mengunci apa yang tak bisa dikunci. Rumahku yang dulu nyaman, kini menjadi penjara bagi diriku sendiri. Hidupku penuh dengan teror yang tak terukur, dimulai dan diakhiri dengan refleksi di cermin yang bukan aku, tapi penghuni malam yang berbisik, “Lepaskan aku.”

Aku memperingatkan kini, jangan terlena dengan keindahan benda antik tanpa mengetahui kisahnya. Sebab kadang, di balik keelokan itu tersimpan kutukan yang akan menggerogoti malammu. Aku mencari jawaban, penyelesaian dari para ahli, dukun, atau siapa pun yang mau mendengar dan percaya. Namun, sampai jawaban itu datang, aku dan cermin antik itu terjebak dalam dansa keabadian. Kau yang membaca, berhati-hatilah, mungkin pantulan di cerminmu juga mengawasimu dalam diam.

Tinggalkan komentar