Di tengah deru aktivitas sekolah yang sibuk, aku menapak lorong-lorong tua sekolah kami yang sudah berdiri sejak era kolonial. Cerita-cerita tua tentang penunggu sekolah, yang biasanya menjadi bahan guyonan, mulai menciptakan getaran aneh ketika sepasang mata tak kasat mata sepertinya menatap tajam ke arahku.
Sebagai penjaga malam, tanggung jawabku adalah memastikan setiap pintu terkunci, setiap jendela ditutup, dan tiap sudut aman. Namun, malam ini terasa berbeda. Suasana hening sekolah malam itu terbagi dengan bisikan-bisikan serak yang terdengar dari ujung lorong.
Aku meneguhkan hati. “Mungkin hanya prank bocah lagi,” gumamku, meskipun lebih untuk meyakinkan diri sendiri. Langkahku terarah menuju sumber suara, sambil menyoroti dengan senter tua di tangan kiriku aku dengan gugup menyinari lekuk-lekuk dinding yang dipenuhi karya seni murid dari tahun-tahun silam.
Bisikan itu semakin jelas. “Kembali…” suara itu bergema, samar dan memilukan. Mataku mecari-cari, namun tak ada siapa pun. Lorong itu kosong.
Aku mendekati salah satu pintu kelas tua, yang menurut cerita, dulu adalah ruangan milik sang pendiri sekolah. Pintu itu terbuka sedikit. Hati-hati, suara gumaman. senter ini membawa cahaya ke dalam gelap, menari di atas bangku-bangku kayu yang keras dan meja-meja yang telah diukir waktu.
“Siapa di sana?” tanyaku dengan suara yang berusaha kukuh. Tapi, tanpa jawaban. Hanya bisikan itu lagi, “Kembaliii…,” dan tiba-tiba, suara denting piano menyeberang ruangan.
Pikiranku berkecamuk. “Haruskah aku pergi? Apa ini pertanda?” Namun, kegigihanku sebagai penjaga tak memperbolehkan aku untuk berpaling dari tugas. Aku melangkah perlahan menuju piano tua di sudut—yang biasanya tidak ada yang berani menyentuh—senterku seolah berat menahan kekuatan yang tak terlihat.
Ketika senterku menerangi tuts-tuts yang kini diam, bisikan itu berhenti. Dan dalam ketiadaan suara itu, dingin menusuk kulitku. Di tengah bayangan dan cahaya, aku melihatnya. Refleksi di piano, bukan wajahku, melainkan wajah pucat, lembut, dengan mata hitam legam yang menusuk langsung ke jiwaku.
Aku menarik nafas, membeku, tak bisa berdetak.
Itulah malam pertama aku bertemu langsung dengan penunggu sekolah. Bisikan yang kudengar? Itu bukanlah sekedar angin malam atau desisan cerita lama. Itulah panggilan dari masa lalu, dari mereka yang masih terikat di lorong-lorong yang kini kutapaki.
Aku tetap di sini, bertugas setia, namun kini dengan pengalaman baruku tentang ‘penghuni tetap’ sekolah, yang akan selalu terngiang ngiang di benak, bukan yang bisikan melaikan yang menyapaku si penghuni sekolah tua ini.